TALIABU, TINTAMALUT–// Kritik keras kembali dilayangkan Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Pulau Taliabu, Budiman L. Mayabubun, terkait rancangan Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Tahun Anggaran 2026.
Menurutnya, dokumen tersebut tidak berpihak pada masyarakat, bahkan cenderung disusun untuk memenuhi besarnya beban belanja pegawai.
Budiman menegaskan bahwa rancangan KUA-PPAS 2026 yang diserahkan Pemerintah Daerah menunjukkan porsi belanja pegawai langsung meledak melampaui 50 persen dari total APBD. Angka ini dinilai sangat tidak rasional dan bertolak belakang dengan prinsip tata kelola anggaran yang sehat.
“Belanja pegawai seharusnya maksimal 30 persen. Namun Pemda justru menyusun APBD yang lebih dari separuhnya habis untuk gaji pegawai. Bagaimana rakyat mau sejahtera bila anggaran habis untuk birokrasi?”ujar Budiman geram.
Ia menilai kondisi ini merupakan sinyal bahwa Pemda tidak memiliki perencanaan fiskal yang matang, serta gagal menyeimbangkan alokasi anggaran sesuai kebutuhan daerah.
Menurut Budiman, idealnya belanja infrastruktur daerah mencapai 40 persen agar pembangunan berjalan dan layanan dasar semakin meningkat. Namun dalam rancangan KUA-PPAS 2026, alokasi infrastruktur turun drastis dan berada di bawah standar nasional.
“Pembangunan jalan, jembatan, fasilitas publik itu semua tertinggal karena anggaran infrastruktur ditekan. Kalau pembangunan melambat, pertumbuhan ekonomi juga ikut terhambat,”tegasnya.
Ia menyebut kondisi ini akan berdampak langsung pada pelayanan publik dan mobilitas masyarakat yang semakin terhambat.
Kritik juga diarahkan pada minimnya komitmen Pemda dalam memenuhi amanat undang-undang terkait alokasi pendidikan minimal 20 persen dan kesehatan mendekati 10 persen.
Namun berdasarkan dokumen KUA-PPAS 2026, kedua sektor tersebut disebut mengalami penurunan.
“Anggaran pendidikan tidak mencapai 20 persen, kesehatan pun jauh di bawah 10 persen. Padahal ini sektor wajib yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat,” ujar Budiman.
Menurutnya, pengabaian dua sektor vital tersebut menunjukkan bahwa Pemda tidak memiliki prioritas pembangunan yang jelas.
Budiman juga menyoroti persoalan pengangkatan PPPK yang dinilai dilakukan tanpa mempertimbangkan kemampuan fiskal daerah. Hal ini membuat belanja pegawai semakin membengkak.
“Pengangkatan PPPK harus selektif. Ukur dulu kemampuan daerah. Jangan karena kepentingan politik lalu angkat pegawai seenaknya. Ini membebani APBD,” tegasnya.
Yang lebih mencengangkan, ia mengungkapkan adanya dugaan PPPK siluman, yakni individu yang tidak pernah tercatat sebagai tenaga honorer namun tiba-tiba muncul dalam database dan langsung lulus PPPK.
“Banyak yang tidak pernah honor, tapi tiba-tiba masuk database dan lulus PPPK. Ini bukan hanya ketimpangan, tapi bentuk praktik yang merusak sistem. Dan ujungnya anggaran daerah yang tersandera,” katanya.
Atas seluruh persoalan tersebut, Budiman menghimbau agar pemerintah daerah melakukan evaluasi kembali kesanggupan APBD terkait hal ini. Sebab, banyaknya pengangkatan PPPK tanpa selektif yang baik, justru membebani APBD.
“APBD seharusnya untuk rakyat, bukan untuk birokrasi. Kami di DPRD akan menguji setiap pos anggaran, termasuk memastikan tidak ada titipan PPPK siluman yang membebani keuangan daerah,” tegas Budiman.
Ia menegaskan bahwa DPRD tidak akan memberi ruang bagi rancangan APBD yang hanya menguntungkan kelompok tertentu dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas.(**)






